
Ada lima aspek yang menjadi bidang penyusunan kriteria klub profesional, yaitu: sporting (pemain muda dan kepelatihan), infrastructure, personnel and administrative, legal, dan finance.
Tiga aspek yang terakhir terkait erat dengan pemain sepakbola
profesional. Setiap klub yang membutuhkan pemain, dimana pemain harus
bersikap secara profesional, mengikuti aturan ketenagakerjaan (kontrak),
memiliki KITAS dan ITC bagi pemain asing, terbebas dari tindak pidana
(kriminal dan narkoba), dan memiliki NPWP. Terhadap kualifikasi dan
prestasi mereka, setiap pemain berhak mendapat gaji yang disepakati
dengan klub. Hal yang tidak memenuhi tujuan klub, setiap pemain dapat
dipecat.
Penyelenggara liga
profesional (persero, kita singkat PT. Liga) harus membina dan mengawasi
klub anggotanya. Sekalipun bahwa klub-klub tersebut merupakan pemilik
saham PT. Liga, tetapi klub-klub harus mampu memenuhi kriteria (lima
aspek) profesional. Jika klub tidak mampu memenuhinya, PT. Liga harus
tegas untuk menerapkan dan menegakkan sanksi. Hanya dengan penerapan
kriteria tersebut, sebuah penyelenggara liga akan tetap eksis dalam
jangka panjang. Sebab, PT. Liga sebagai organisasi profesional
(persero), keberadaannya sangat tergantung pada pendapatan dari
penyelenggaraan liga. Sumber pendapatan PT. Liga adalah hak siar,
sponsor, iuran anggota dan sumber-sumber lainnya. Jika PT. Liga berhasil
mengorbitkan klub anggotanya ke level yang lebih tinggi (Liga
Champion), besaran pendapatan PT. Liga akan turut meningkat. Prestasi
klub di level sepakbola internasional sangat tergantung kualitas
penyelenggaraan liga. Oleh karenanya, PT. Liga, tidak hanya sekadar
sebagai administrator liga, tetapi juga mampu pengelola (to manage) liga yang mampu membentuk nilai (value), baik untuk dirinya sendiri, maupun bagi klub dan pemain.
PT. Liga harus mengelola liga dengan baik dan benar.Sukses penyelenggaraan liga sangat tergantung pada tatakelola (management)
yang dilakukan secara benar oleh PT. Liga. Di satu sisi, keputuan yang
diambil PT. Liga harus sejalan dengan penerapan lisensi klub profesional
yang diinginkan oleh FIFA/AFC/PSSI. Di sisi lain, kebijakan yang dibuat
oleh PT. Liga haruslah berdasarkan lima aspek tersebut dalam koridor
yang dapat menguntungkan klub dan mensejahterakan para pemain. Sudah
saatnya, PT. Liga harus bercermin atas kesuksesan Bundesliga. Di Jerman,
tidak satupun klub yang bubar (bangkrut) sejak 1963, sementara di
Inggris terdapat sebanyak 55 klub yang telah bubar karena krisis
keuangan sejak 1992 (Premier League). Jumlah klub profesional yang bubar
di Eropa dalam lima tahun terakhir (2007-2012) diperlihatkan dalam
Gambar-1. Banyaknya klub yang bubar di suatu negara adalah suatu
indikasi banyaknya pemain yang tidak sanggup dibayar, telat pembayaran
gaji pemain dan adanya pemotongan hak-hak pemain.
Indonesia Harus Belajar dari Liga Profesional Jerman (Bundesliga)
DFL (Deutsche
Fussball Liga) sebagai penyelenggara liga profesional di Jerman, yang
sejak 1963 dibentuk telah menerapkan sistem perizinan klub. memperbarui
kebijakan baru yang tepat ke dalam tiga pilar. Pertama, penerapan lisensi (licensing system),
yang mana setiap klub wajib melaporkan kondisi keuangan pada musim
kompetisi berjalan dan musim sebelumnya dan proyeksi (forecasting) musim
berikutnya. Laporan-laporan keuangan ini harus diaudit dan disahkan
oleh auditor profesional yang independen. DFL dengan tegas hanya
meloloskan klub ikut kompetisi jika klub memiliki likuiditas positif
pada musim berjalan dan musim berikutnya, memiliki ekuitas positif dalam
neraca pada masim sebelumnya, musim berlangsung dan musim berikutnya.
Terhadap hasil laporan-laporan keuangan ini plus bank garansi, DFL
memberi sanksi tegas terhadap pelanggaran persyaratan dan kewajiban klub
berupa secara bertahap mulai dari peringatan, penghentian sementara
(maksimal dua bulan), pemotongan poin dalam klasemen hingga denda.
Kebijakan ini pada tahun 2001 ditekankan kembali agar pemilik atau
pengelola klub profesional di Jerman menyadari bahwa pengeluaran tidak
melebihi pendapatannya.
Kedua, perlindungan keuangan (safeguard fund)
yang merupakan kebijakan yang bertujuan untuk menjembatani krisis
likuiditas sementara klub dalam rangka menjaga keberlangsungan
penyelenggaraan liga dan menjamin semua pertandingan dimainkan sesuai
jadwal. Setiap klub harus memiliki potensi keuangan sejumlah tertentu
per musim dan memiliki kemampuan membayar dua bulan gaji pemain. Jika
persyaratan ini tidak dipenuhi klub maka konsekuensinya akan dilakukan
pengurangan hingga 3 poin bagi klub. Pada musim 2011, klub Bielefeld
(klub divisi dua) telat (gagal) membayar gaji satu bulan yang kemudian
meminjam uang dari liga (penyelenggara) dan sanksinya dilakukan
pemotongan tiga poin di dalam klasemen.
Ketiga, aturan kepemilikan klub (ownership rules)
yang mana klub profesional terdaftar di Jerman harus memegang mayoritas
hak suara [50+1%]. Proposri ini juga berlaku untuk hak suara perusahaan
sepakbola dalam negeri. Namun demikian, sekalipun ada pencanangan saham
non-voting tetap tidak terpengaruh (kontribusi modal murni tidak
terbatas) tetapi karena bersifat historis ada dua pengecualian terhadap
Leverkusen (Bayer AG) dan Wolfsburg (Volkswagen AG). Ini mirip yang
terjadi dengan klub Semen Padang di Indonesia. Aturan lainnya adalah
bahwa tidak ada kepemilikan lebih dari satu klub dan pengelola liga
harus berlaku adil terhadap semua klub (besar atau kecil). DFL juga
memberlakukan aturan keuangan untuk mencegah suntikan modal investasi
asing masuk–seperti Menchester City di Inggris. Kesenjangan antara satu
klub dengan yang lain tidak terlalu besar di Jerman sebagaimana di
Inggris. Memang sangat mungkin klub-klub Jerman akan kehilangan (daya
saing internasional) setidaknya dalam jangka pendek tetapi dengan
penerapan kebijakan/aturan lisensi sejak lama (tetapi dalam
kenyataannnya) terbukti klub-klub Jerman sangat prospektif di masa
sekarang dan di masa yang akan datang.
Pada hematnya,
DFL pelan tapi pasti telah mempromosikan model bisnis yang berkelanjutan
di Jerman (bukan akumulasi hutang yang malah dapat menghancurkan klub
suatu saat seperti di Inggris). DFL dengan sadar menawarkan produk liga
yang berkelanjutan (tidak bubar di tengah kompetisi berjalan), sistem
pengelolaan pendapatan yang berbasis pengeluaran dan pembatasan
pendapatan/arus masuk modal substitusi). Ringkasnya, DFL telah berupaya
mempromosikan keseimbangan kompetitif sepakbola yakni antara persyaratan
lisensi (perizinan) dengan aturan kepemilikan. Konsekuensi logis dari
aturan main ini adalah terimplementasikannya peluang yang lebih baik
untuk mengorbitkan pemain muda sebuah klub (aspek sporting lisensi klub
profesional). Dengan cara serupa ini, DFL berharap pengeluaran klub
semakin ringan dan memungkinkan menarik tarif penonton lebih murah yang
pada gilirannya lebih banyak penonton/suporter yang datang ke stadion.
Banyaknya penonton di stadion menjadi faktor penting dan daya tarik
sponsor dan televisi untuk berpartisipasi yang memungkinkan jangkauan
pemirsa lebih luas.
Qua Vadis, Liga Profesional Indonesia?
Sangat miris
mendengar, begitu banyak klub-klub yang dianggap berlabel profesional di
Indonesia, yang tertatih-tatih mengelola klub, kekurangan dana, telat
membayar gaji pemain dan bahkan tidak sanggup membayarnya. Juga sangat
miris mendengar banyak pemain yang belum menerima gaji selama lima bulan
atau lebih. Pengelola liga (PT. Liga) tidak berdaya atas masalah ini.
Beberapa kali pengelola liga memberi tenggang waktu pembayaran, dan
berulang kali klub akan melunasinya, tapi dalam kenyataannya hak pemain
tetap tidak terlunasi.
Tinggalkan Komentarnya Dulur
EmoticonEmoticon