Saturday, April 20, 2013

Belajar dari Proses Perdamaian Suporter di Jember dan Solo




Mendamaikan kelompok suporter yang berseteru tak selamanya harus melibatkan aparat kepolisian atau aparat pemerintah. Perdamaian suporter justru kadang lebih efektif bila dilakukan oleh suporter sendiri tanpa intervensi pihak lain.


Kuncinya adalah harmoni dan penghargaan. Dalam urusan menciptakan harmoni, sebenarnya semua pihak bisa belajar dari Kabupaten Jember, Jawa Timur. Jember selama ini merupakan salah satu kota basis kuat Bonek di ujung timur Jawa. Para Bonek ini rata-rata adalah masyarakat asli Jember.

Dan salah satu basis Bonek ada di Kecamatan Semboro, tempat kelahiran Andik Vermansyah, pemain binaan Persebaya. Saat Persebaya berulang tahun 18 Juni 2011 lalu, ratusan Bonek berkonvoi dan melakukan tasyakuran di Semboro.

Di lain pihak, di Jember ada pula Aremania yang tumbuh belakangan, terutama setelah Arema menjadi juara Liga Indonesia. Kehadiran dua kelompok suporter yang selama ini bermusuhan tersebut berpotensi memunculkan gesekan. Namun, selama ini tidak terdengar adanya bentrokan besar antara Bonek dan Aremania di Jember. Padahal, di jalan-jalan mudah ditemui warga setempat memakai kaos hijau Bonek dan kaos biru Aremania.

Tak adanya gesekan antara Bonek dan Aremania di Jember tak lepas dari peran Berni (Jember Brani), kelompok suporter kesebelasan Persid. Berni memang tergolong masih muda sebagai kelompok suporter. Namun Bonek dan Aremania di Jember menghormati kelompok suporter yang diketuai Agus Rizky ini.

Pentolan Berni menemui pentolan Bonek dan Aremania di Jember. Dengan pendekatan hati ke hati, dua kelompok suporter itu diminta ikut menjaga perdamaian dan persahabatan di Jember, tanpa mengunggulkan atau menjatuhkan salah satu jelompok. "Hasilnya, Bonek dan aliansi suporter lain bisa berdampingan penuh persaudaraan di sini," kata Agus.

Saat Ribuan Bonek melakukan tret-tet-tet atau perjalanan laga tandang ke Bali dalam Liga Primer Indonesia 2011 silam, tak ada kerusuhan kala melewati Jember. Bahkan, dalam pantauan beritajatim.com kala itu, saat menyambut rombongan pertama Bonek yang naik kereta api, para suporter Berni tidak diiringi aparat kepolisian sama sekali. Pengamanan murni dilakukan para anggota Berni.

Suporter Jember juga bahu-membahu mengadakan aksi solidaritas dan unjuk rasa terhadap PT Kereta Api Indonesia. Mereka memportes penganiayaan terhadap Ryan Bachtiar, Bonek Jember asal Gebang, yang dilakukan oleh oknum polisi khusus kereta api. Saat itu, Wardoyo Achmad, salah satu pentolan suporter Jember, juga ikut mendampingi keluarga Ryan dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD setempat. Ini salah satu yang membuat Bonek di Jember segan terhadap Berni. Keseganan itu pada akhirnya menjadi salah satu elemen perdamaian.

"Apabila semua daerah penyangga bisa kondusif seperti di Jember, setidaknya itu akan semakin melemahkan dan bahkan memadamkan perseteruan kelompok suporter. Setelah itu, barulah para pemimpin utama kelompok suporter yang bertikai dipertemukan. Jadi solusinya penyelesaian dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah," kata Agus lagi.

Semua ini akan lebih mudah, lanjut Agus, jika tidak dibarengi dengan kepentingan politik kelompok lain di luar suporter. "Biarkan mereka menyelesaikan dengan jiwa suporter masing-masing," katanya.

'Menyelesaikan dengan jiwa suporter' sebagaimana dikatakan Agus yang membuat Bonek dan Pasoepati Solo bisa berdamai. Tahun 2010, media massa menyajikan kepala berita (headlines) tentang perang batu antara Bonek dengan suporter dan warga Solo di perlintasan kereta api. Saat itu tak hanya batu. Bom molotov pun juga ikut berhamburan. Untunglah tak ada korban jiwa.

Namun setahun kemudian, Bonek dan Pasoepati bisa berdamai, yang kali ini, tidak ada media massa utama yang menjadikan headline dan berita besar. Perdamaian Bonek dan Pasoepati sama sekali tanpa intervensi negara dan dilakukan mandiri oleh suporter.

Sejumlah perwakilan Bonek menemui sesepuh Pasoepati di Solo. Cinta tak bertepuk sebelah tangan, karena Pasoepati pun ternyata memang tengah berupaya melakukan perdamaian dengan Bonek. Sebuah pohon mundu ditanam bersama di sebuah rumah di Solo, sebagai simbol persahabatan. Kebetulan, di dekat Gelora 10 Nopember Tambaksari, juga ada sebuah tempat yang bernama Taman Mundu yang menjadi tempat kongko suporter Bonek.

Perdamaian dimulai dengan sebuah pertaruhan besar. Saat itu, untuk membuktikan kesungguhan berdamai, Bonek mengundang Pasoepati untuk hadir ke Surabaya menyaksikan pertandingan Persebaya melawan Solo FC, dalam Liga Primer Indonesia 2011. Pasoepati dengan berani menyanggupi tawaran tersebut.

Perdamaian adalah gagasan dan cita-cita. Ia butuh tangan dan kaki, yang artinya butuh kerja keras untuk mewujudkannya. Mewujudkan 'tangan dan kaki perdamaian', sejumlah perwakilan Bonek Surabaya melakukan perjalanan estafet dari kota ke kota di Jawa Timur yang dilalui kereta api yang bakal mengangkut suporter Pasoepati ke Surabaya.

Perwakilan Bonek Surabaya menemui kelompok-kelompok Bonek di kota-kota itu untuk menyosialisasikan kesepakatan damai, dan meminta agar rombongan kereta api Pasoepati tidak diserang. Di luar dugaan, tak ada resistensi dari Bonek di luar Surabaya. Mereka setuju berdamai dan berjanji tak melakukan penyerangan.

Di Solo, perwakilan Bonek di sana ikut serta dalam kereta api yang ditumpangi Pasoepati untuk berjaga-jaga, jika rencana perdamaian mendapat gangguan di salah satu kota di Jawa Timur.

Hasilnya luar biasa. Ratusan Pasoepati dengan atribut merah dan spanduk besar akhirnya bisa hadir kembali di Tambaksari pada Mei 2011, sebagaimana tahun 2000 lalu. Tidak ada bentrokan sebagaimana ditakutkan polisi yang melarang laga Solo FC versus Persebaya digelar di Solo.

Dari sini, boleh jadi Agus Rizky benar. "Biarkan mereka menyelesaikan persoalan dengan jiwa suporter, tanpa dicampuri urusan politik

Tinggalkan Komentarnya Dulur
EmoticonEmoticon