Dari segala macam komentar atas pertandingan Indonesia lawan Belanda
semalam dan juga segala rupa ketidaksempurnaan yang melekat padanya,
kita patut bersyukur karena Gelora Bung Karno masih didatangi
kesebelasan dengan reputasi dunia. Dari pada kita disuguhi uji tanding
tim nasional hanya dengan tim lokal yang diberi judul macam-macam agar
laku dijual ?.
Pertandingan semalam adalah pementasan kualitas antara tim dengan sejarah dan pretasi sepak bola yang besar dengan tim yang terseok-seok mendaki tangga kejayaannya di Asia. Tim yang pertama adalah juga tim yang memiliki sejarah sebagai penjajah maritim yang pernah sangat berkuasa dengan tim yang lahir dari masyarakat bekas jajahan. Asiknya, di hijaunya lapangan bola, pertandingan dan kemenangan bukanlah perang dan penaklukan.
Sepakbola Indonesia bukan tidak pernah punya prestasi. Walau mungkin bagi kita itu sebatas kisah masa lampau dan terlalu sering diceritakan, sudah basi. Apalah arti masa dulu yang gilang gemilang sementara kenyataan hari ini kita hidup berkolong penderitaan dan pesimisme yang akut ?. Dalam kenyataan kekinian, selain minim prestasi, belum lama ini kita juga disuguhi aksi saling rebut kepemimpinan di PSSI yang membuat miris itu.
Kita juga masih disuguhi fakta nasih adanya para pemain yang belum menerima gaji berbulan-bulan karena keuangan klub yang kere sementara saat bersamaan kita dihembusi mimpi menuju kompetisi yang profesional. Kita juga membaca berita bahwa ada klub yang harus tutup sejarah karena APBD tak boleh lagi mereka pakai. Dari kondisi buruk seperti ini, menjadi pesimis adalah hal semudah menyalakan saklar lampu.
Mari coba sejenak kita keluar dari lautan pesimisme ini.
Ada satu sisi yang ada baiknya kita simak sebentar sesudah pertandingan semalam usai. Kalau kita membaca komentar-komentar di dunia twitter yang ditujukan kepada Jackson Tiago (akunnya @papinegro81) yang datang dari para supoter, kita bisa melihat satu benang merah penting. Para suporter itu mewakili suara banyak orang yang dengan cara mereka sendiri menunjukkan suasana batinnya. Tentulah suara-suara ini tidak bisa disimpulkan/generalisasi sebagai suara hati seluruh rakyat Indonesia. Selain juga ada fakta tak sedikit suara sinis dan meledek tim Garuda Senior.
Dari suara-suara di twitter mereka, ada pesan kuat bahwa mereka sedang membangun kembali salah satu fondasi penting yang dibutuhkan oleh bangsa yang terjebak dalam labiran keburukan kolektif yang serius. Yakni suara keyakinan dan pengharapan yang dititip para suporter itu. Walau kalah, suara-suara yakin dan berharap sembari tetap bangga dan memelihara rasa percaya kepada kemampuan sang Big Man untuk membuat Tim Garuda Senior jadi lebih baik dan berprospek bagus. Suara-suara ini, yang bukan suara pengamat juga pejabat olahraga, menjadi yakin dan bangga karena melihat daya juang pada tim nas Garuda saat melawan Belanda.
Suara yakin itu juga tetap saja percaya bahwa tim nas Indonesia bisa mencapai level yang baik dengan prestasi yang membanggakan. Mereka juga percaya bahwa sang Big Man Jackson Tiago memiliki kemampuan untuk mewujudkan jalan ke arah sana. Mereka juga terus menyemangati coach Jackson dengan memberi masukan menurut penilaian masing-masing. Mereka, suara-suara positif itu, memantulkan cintanya, keyakinannya, juga pengharapannya. Realistik atau tidak, itu soal kedua. Cinta dan dukungan suporter sepakbola tak pernah menimbang syarat seperti koalisi partai politik.
Keyakinan dan pengharapan seperti yang mulai tumbuh ini dibutuhkan untuk negeri seperti kita yang punya mimpi besar dalam konteks pergaulan dunia hari ini. Mimpi-mimpi ini disusun dari penilaian bahwa kita berpotensi menjadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia, bahwa kita negara yang berpengaruh di Asia, bahwa kita bisa menjadi penyambung dialog antara Islam dan Barat di tengah ‘krisis hubungan’ karena aksi-aksi terorisme, termasuk juga diharapkan sebagai peneduh di tengah potensi bentrokan yang diakibatkan adu pengaruh China versus Amerika Serikat di Pasifik, dan lain sebagainya.
Mimpi-mimpi ini seringkali juga kelihatan seperti dongeng jika diperhadapkan dengan kasus-kasus korupsi politisi yang berjamaah, kepemimpinan yang bersibuk ria dengan pencitraan, kejahatan jalanan, arogansi pejabat, ketegangan hubungan mayor-minor, hingga pertumbuhan ekonomi yang belum sukses meretas jalan sejahtera bagi seluruh rakyat, dan lain sebagainya.
Disinilah tantangan besar itu. Jika pengharapan suporter sepakbola mulai kembali bersemi dan membuncah pada tim nas asuhan Jackson Tiago atau juga sebagaimana nanti pada tim nas U-23 asuhan Rahmad Darmawan, bagaimanakah keyakinan dan pengharapan itu menular pada lingkup yang lebih luas. Menular pada lingkup kehidupan ekonomi, menular pada lingkup kehidupan politik, hukum, hubungan sosial, dan sebagainya. Keyakinan dan pengharapan ini sungguh menyakitkan jika harus punah lagi karena gagal kelola oleh para petinggi itu.
Saya kira cuma satu jawabannya. Dengan memberi fakta prestasi yang nyata melalui kerja keras dan daya juang yang luar biasa. Ini yang juga harus dimiliki para pejabat republik sebagai orang-orang yang diberi amanah untuk mengelola hidup bersama bukan cuma pelaku sepakbola. Kita tahu, sejarah Republik ini tidak lahir oleh jenis manusia yang berongkang-ongkang kaki.
Pertandingan semalam adalah pementasan kualitas antara tim dengan sejarah dan pretasi sepak bola yang besar dengan tim yang terseok-seok mendaki tangga kejayaannya di Asia. Tim yang pertama adalah juga tim yang memiliki sejarah sebagai penjajah maritim yang pernah sangat berkuasa dengan tim yang lahir dari masyarakat bekas jajahan. Asiknya, di hijaunya lapangan bola, pertandingan dan kemenangan bukanlah perang dan penaklukan.
Sepakbola Indonesia bukan tidak pernah punya prestasi. Walau mungkin bagi kita itu sebatas kisah masa lampau dan terlalu sering diceritakan, sudah basi. Apalah arti masa dulu yang gilang gemilang sementara kenyataan hari ini kita hidup berkolong penderitaan dan pesimisme yang akut ?. Dalam kenyataan kekinian, selain minim prestasi, belum lama ini kita juga disuguhi aksi saling rebut kepemimpinan di PSSI yang membuat miris itu.
Kita juga masih disuguhi fakta nasih adanya para pemain yang belum menerima gaji berbulan-bulan karena keuangan klub yang kere sementara saat bersamaan kita dihembusi mimpi menuju kompetisi yang profesional. Kita juga membaca berita bahwa ada klub yang harus tutup sejarah karena APBD tak boleh lagi mereka pakai. Dari kondisi buruk seperti ini, menjadi pesimis adalah hal semudah menyalakan saklar lampu.
Mari coba sejenak kita keluar dari lautan pesimisme ini.
Ada satu sisi yang ada baiknya kita simak sebentar sesudah pertandingan semalam usai. Kalau kita membaca komentar-komentar di dunia twitter yang ditujukan kepada Jackson Tiago (akunnya @papinegro81) yang datang dari para supoter, kita bisa melihat satu benang merah penting. Para suporter itu mewakili suara banyak orang yang dengan cara mereka sendiri menunjukkan suasana batinnya. Tentulah suara-suara ini tidak bisa disimpulkan/generalisasi sebagai suara hati seluruh rakyat Indonesia. Selain juga ada fakta tak sedikit suara sinis dan meledek tim Garuda Senior.
Dari suara-suara di twitter mereka, ada pesan kuat bahwa mereka sedang membangun kembali salah satu fondasi penting yang dibutuhkan oleh bangsa yang terjebak dalam labiran keburukan kolektif yang serius. Yakni suara keyakinan dan pengharapan yang dititip para suporter itu. Walau kalah, suara-suara yakin dan berharap sembari tetap bangga dan memelihara rasa percaya kepada kemampuan sang Big Man untuk membuat Tim Garuda Senior jadi lebih baik dan berprospek bagus. Suara-suara ini, yang bukan suara pengamat juga pejabat olahraga, menjadi yakin dan bangga karena melihat daya juang pada tim nas Garuda saat melawan Belanda.
Suara yakin itu juga tetap saja percaya bahwa tim nas Indonesia bisa mencapai level yang baik dengan prestasi yang membanggakan. Mereka juga percaya bahwa sang Big Man Jackson Tiago memiliki kemampuan untuk mewujudkan jalan ke arah sana. Mereka juga terus menyemangati coach Jackson dengan memberi masukan menurut penilaian masing-masing. Mereka, suara-suara positif itu, memantulkan cintanya, keyakinannya, juga pengharapannya. Realistik atau tidak, itu soal kedua. Cinta dan dukungan suporter sepakbola tak pernah menimbang syarat seperti koalisi partai politik.
Keyakinan dan pengharapan seperti yang mulai tumbuh ini dibutuhkan untuk negeri seperti kita yang punya mimpi besar dalam konteks pergaulan dunia hari ini. Mimpi-mimpi ini disusun dari penilaian bahwa kita berpotensi menjadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia, bahwa kita negara yang berpengaruh di Asia, bahwa kita bisa menjadi penyambung dialog antara Islam dan Barat di tengah ‘krisis hubungan’ karena aksi-aksi terorisme, termasuk juga diharapkan sebagai peneduh di tengah potensi bentrokan yang diakibatkan adu pengaruh China versus Amerika Serikat di Pasifik, dan lain sebagainya.
Mimpi-mimpi ini seringkali juga kelihatan seperti dongeng jika diperhadapkan dengan kasus-kasus korupsi politisi yang berjamaah, kepemimpinan yang bersibuk ria dengan pencitraan, kejahatan jalanan, arogansi pejabat, ketegangan hubungan mayor-minor, hingga pertumbuhan ekonomi yang belum sukses meretas jalan sejahtera bagi seluruh rakyat, dan lain sebagainya.
Disinilah tantangan besar itu. Jika pengharapan suporter sepakbola mulai kembali bersemi dan membuncah pada tim nas asuhan Jackson Tiago atau juga sebagaimana nanti pada tim nas U-23 asuhan Rahmad Darmawan, bagaimanakah keyakinan dan pengharapan itu menular pada lingkup yang lebih luas. Menular pada lingkup kehidupan ekonomi, menular pada lingkup kehidupan politik, hukum, hubungan sosial, dan sebagainya. Keyakinan dan pengharapan ini sungguh menyakitkan jika harus punah lagi karena gagal kelola oleh para petinggi itu.
Saya kira cuma satu jawabannya. Dengan memberi fakta prestasi yang nyata melalui kerja keras dan daya juang yang luar biasa. Ini yang juga harus dimiliki para pejabat republik sebagai orang-orang yang diberi amanah untuk mengelola hidup bersama bukan cuma pelaku sepakbola. Kita tahu, sejarah Republik ini tidak lahir oleh jenis manusia yang berongkang-ongkang kaki.
Tinggalkan Komentarnya Dulur
EmoticonEmoticon